Alasan Pentingnya Les Bahasa Mandarin di LingoAce

Sebagian orang ada yang menganggap mempelajari suatu bahasa baru cuma buang-buang waktu. Bisa jadi dianggap sepele karena menurut sebagian orang mempelajari bahasa adalah hal yang nggak penting semenjak ada aplikasi penerjemah. Padahal kenyataannya jauh berbeda dan justru kecakapan bahasa sangat dibutuhkan.

Belajar bahasa baru memiliki kelebihan masing-masing, loh. Salah satunya adalah belajar bahasa Mandarin. Nah, mau tahu apa aja manfaat yang bisa didapatkan kalau kita bisa menguasai bahasa Mandarin sejak dini?

Susahnya Membiasakan Diri Sebagai Seorang Ibu Baru

Sebatas pengetahuanku, membiasakan diri alias membuat diri menjadi terbiasa terhadap sesuatu itu butuh waktu. Dan, juga nggak mudah. Tergantung konteks dan kepribadian masing-masing orang.

Kali ini aku (mencoba) untuk membiasakan diri untuk menjadi seorang ibu (yang baik). Aku tahu, mustahil aku named it as ibu yang sempurna, so I call it ibu yang baik. And, surprisingly it’s not easy.

Empat bulan sudah anakku terlahir ke dunia. Selama itu pula aku menyandang status sebagai seorang ibu. Ibu penuh waktu, judulnya. Aku benar-benar meng-handle anakku 90%. 10% sisanya adalah suamiku dan orang tuaku. Sekali lagi kukatakan: tidak mudah membiasakan diri menjadi seorang ibu.

Terlahir sebagai ibu baru ternyata adalah momen yang lumayan menohokku. Kaget. Bingung. Banyak hal baru yang agak susah aku hadapi. Banyak tantangan. Orang lain boleh jadi menganggapnya hal biasa, tapi bagiku itu adalah ujian tersulit dalam hidupku.

Mengurus anak. Nggak sesepele dua kata barusan. Walau pada kenyataannya aku cukup terbantu oleh suami dan orang tuaku, tetap saja aku menemui kesulitanku sendiri. Bagiku, itu nggak mudah. Bagiku, itu berat.

Mengurus anak (apalagi ini bayi, ya) mulai dari newborn baby sampai saat ini usianya 4 bulan merupakan rutinitas yang repetitif setiap hari. Nggak ada jadwal libur, nggak ada cuti. Me time? Ah, aku bahkan lupa kali terakhir aku menikmati me time meski sejenak itu kapan.

Menyusui bayi itu kelihatannya mudah bagi orang lain. Bagiku? Perjuangan banget. Puting lecet dan perih, payudara bengkak, trus juga payudara bentuknya jadi terlihat ‘turun’. Belum lagi harus jaga makan dan minum agar ASI berkualitas dan melimpah. Demi bayi, of course.

Selalu memperhatikan jadwal menyusui agar nggak kelewat waktunya (simply biar bayinya nggak dehidrasi supaya berat badannya tetep naik baik) udah jadi rutinitas wajib setiap saat. Di kala aku udah menyusui sampai bayi kenyang, tiba-tiba si bayi HOOEEEKKKKK sehingga tumpah-ruah semua isi perutnya which is full ASI yang sudah kuperjuangkan tersebut, ada suatu perasaan ‘tercubit’ yang mampir ke hatiku. Nangis. Kayak cuma itu yang bisa aku lakukan.

Aku nggak tau yaa sebenernya ini tuh perasaan macam apa yang membuat aku sering menangis over a simple thing. Sesederhana bayi gumoh aja aku auto ngerasa jadi ibu yang nggak becus. Langsung bisa galau seharian tuh.

Aku pikir seiring berjalannya waktu, aku akan lebih mudah terbiasa dengan predikat ini: sebagai ibu baru. However, it’s not as simple as I thought. Bahkan sampai saat ini, sampai anakku berusia empat bulan, aku masih merasa “Ya Allah, kenapa sulit banget?”

Ada suatu ruang dari hatiku yang masih berlubang. Kosong. Aku tuh kayak belum bisa menerima kenyataan sepenuhnya bahwa aku sudah punya bayi, aku sudah menjadi ibu, dan aku harus bisa melewati perjalanan ini dengan pikiran yang sadar. Tapi, yang aku rasa, aku belum mindful. Yang aku lakukan selama ini masih hanya sebatas rutinitas harian (yang pada akhirnya membosankan).

Iya, bosen banget loh ngurus bayi itu. Capek. Mandiin, mijitin bayi, pakein baju, gantiin popok, nyebokin, gendongin, hibur-hiburin biar nggak nangis mulu, rajin-rajin menstimulasi biar tumbuh-kembangnya baik, sering-sering nyanyiin dan bacain buku bayi, selalu pasang wajah ceria dan ketawa-ketiwi di depan muka bayi, nidurin bayi, nyusuin bayi, dan semua itu dilakukan secara berulang setiap hari. Tanggung jawab, coy.

Aku bahkan sempat berpikiran: “aku nggak punya kehidupan setelah punya anak”. Ya, memang betul. Itu yang aku rasa. Don’t judge me. Dan, jangan sekali-kali menyuruhku untuk bersyukur. Because that’s not the point.

Ingin sekali rasanya aku sehari aja bener-bener lepas dari bayi. Nggak ngurusin sama sekali dan aku pergi gitu aja entah ke mana. Tapi, nggak bisa. Selalu aja pertimbanganku berat: harus buru-buru alias nggak bisa lama-lama perginya, harus pumping ASI buat persediaan, harus nitipin anak, dan yang jelas sih aku jadi ngerasa sebel karena selama di jalan aku dihubungin mulu “kapan pulang? masih lama enggak? pulang jam berapa?”.

Aku tau banget, ini adalah bagian dari perjalananku yang harus aku lewati. “This too shall pass” adalah kunci yang aku pegang. Meski berat, terseok-seok, berkesan lebay, dan penuh air mata, yaa aku harus melaluinya. Karena nggak ada pilihan lain. Udah. Nggak ada pilihan lain. Laluin aja. Semangat seperlunya. Kalo capek ya istirahat (dan berakhir dengan bikin tulisan di Blog).

Ganti Saja DSA-mu!

Memilih Dokter Spesialis Anak (DSA) memang cocok-cocokan, kayak milih skincare. Tapi, ini jauh lebih penting karena berkaitan secara langsung dengan anak kita. Nggak bisa sembarangan lah, yaaa. Semua demi kebaikan anak (dan tentunya kewarasan kita sebagai orang tua).


Curhatan kali ini bermula ketika aku galau akut setelah memeriksakan anakku yang kedua kalinya ke salah satu DSA di kotaku, sebut saja dokter X. Sebenernya sih dari pertama kali ketemu aku agak feeling kurang enak sama si dokter. Ramah sih, tapi penyampaian edukasinya agak ‘menyeramkan’. Beliau terlalu sering memberikan peringatan yang merujuk ke tanda bahaya instead of menyebutkan poin-poin yang menyertai hasil periksa anakku. Jadi, kesannya kayak nakut-nakutin seolah-olah anakku bakalan ngalamin tanda bahaya itu.


Well, untuk pertemuan pertama sih aku masih bisa tolerir toh belum kenal-kenal amat. Lagian, mungkin aku aja yang terlalu baper. Dan, tentu saja penyesuaian aku dengan si dokter pun butuh waktu. So, aku anggap ini hanya semacam “ah, cuma perasaanku aja”.


Aku masih bisa menimbang-nimbang lagi dan mencoba untuk beradaptasi dengan dokter X sehingga aku masih lanjut memeriksakan anakku untuk kedua kalinya kepada beliau. Namun, aku pikir ini sudah cukup. Cukup sampai di sini saja. Cukup untuk terakhir kalinya.


Di pertemuan kedua aku merasa udah nggak mampu lagi untuk fit in dengan cara dokter X memberikan edukasi perihal kesehatan anakku. Too much fear, too much warning. Beliau juga turut menyalahkan bidan desa tempat tinggalku. Plus, beliau nggak segan-segan untuk curcol perihal keengganannya dalam melayani banyak pasien dengan keperluan yang sama, misal imunisasi Z yang memberikan efek samping instan yang sangat tidak disukai oleh si dokter.


Sejak saat itulah aku bener-bener ilfeel dan mulai cari-cari info lain terkait DSA. Indeed, DSA untuk anak pun ternyata cocok-cocokan. Karena komunikasinya secara dewasa pun juga sama kita, kaaann? Percuma kalo DSA kompatibel dengan ilmunya, tapi cara penyampaian ke klien (in this case kita sebagai orang tua si anak) itu buruk. Bukannya turut menenangkan dan bisa menjadi sumber solusi, yang ada malah bikin tambah stres.